Kamis, 05 Juli 2012

Share of memory

      Beberapa photo kenangan ku bersama 4L@Y - DELATI9 > sekumpulan anak anak usil,kreatif,alay,smart dan pemalas yang tergabung menjadi satu dikelas Delapan Tiga, Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Tualang. Banyak mereka yang menilai kami adalah kelas yang tidak mempunyai bakat,bahkan ada mulut yang mengatakan KAMI ADALAH ANAK-ANAK yang Bodoh. Tetatpi NYATANYA ?! 
Sebagian besar murid yang pergi untuk mewakili sekolah di ajang perlombaan dan seminar, adalah ANGGOTA Kelas kami.
 Sekilas 7 orang yang selalu menjadi wakil dan yang paling dikenal oleh guru : >Cekidot .
  1. Ahrun Naza, dia adalah anak lelaki pendiam yang berkulit putih. Dikelas, dan di sekolah, dai adalah anak peraih nilai tertinggi di mata pelajaran AGAMA. Kami biasa memanggilnya anak Pak Putra. Dia menjadi peserta Olimpiade IPS di provinsi. Yah itu lah NAZA.
  2. Devi Tiyan Eka Putri, sisableng ini,adalah ratu di kelas. Bijak,tanggap,aktif,dan cerdas. Dan dia adalah saingan ku disaat berargumentasi. Si ratu Matematik.
  3. Habbil Azhana Basyar, seorang anak lelaki bertubuh jangkung,yang memiliki sifat seperti bunglon. Dia adalah pemenang dalam perlombaan Story Telling,tentu saja ia pandai berbahasa inggris. Kocak,aneh,bijak,dan dingin. itulah dia. Dia adalah KETUA KELAS ku.
  4. Haidan Nur, seorang gadis putih nyebelin yang pernah dekat sama aku. aku mulai ga suka dengan dia,karena sifatnya yang menyebalkan! Yah, tapi itu sudah menjadi karakater pada dirinya. Dia memiliki suara emas. Kepiawaian nya dalam bersyair membawanya menjadi pemenang di perlombaan nasyid. tapi, walau dia nyebelin, IDAN tetep teman gue !
  5. Lilis Noviani, aaiich, ini gue ! seorang gadis yatim piatu yang cerewet,bertubuh berisi dan memiliki tinggi tidak lebih dari 150 cm. Aku adalah anak yang selalu menyibukkan diri. Aku adalah pemenang perlombaan Tulis Cerpen, Karya Tulis Ilmiah,Peserta Olimpiade Biologi,Photografer mading,asissten pelatih sepakbola,editor mading,ketua PMR,dan Bendahara kelas(Pameer dikit ^^). Seorang guru pernah menyanjungku, tentang pengetahuan ku. Yaah, aku bangga pada diriku sendiri, walau aku tidak sesempurna mereka.
  6. Lovita Apreza, gadis imut,berwajah seperti bayi. Cantik,pintar,baik,dan ramah. Dia lah pemegang juara 3 umum di sekolah. dia juga menjadi rekan ku saat berlomba Karya Tulis Ilmiah, lomba lukis batik. Karena kepandaian nya berbicara, dia selalu di jadikan pembawa acara. sebutan TRIBON menjadi julukan baginya dan 2 teman dekatnya (Dania,dan Yunita).
  7. Vivi Khairunnisa, perempuan cantik,bermata besar. Dibidang akademik dia memang tidak unggul,tetapi dibidang non akademik, dia selalu maju diantara kami. Dia adalah penari yang selalu memenangkan perlombaan seni di kecamatan. Dia juga ahli dalam menggoreskan qalam diatas kertas,dan menjadikan nya lukisan kaligrafi,dan motif kreasi batik. Dia juga akrab dengan ku, Mila,dan Hera. Kami memanggilnya PENYOK.
 Kalo disebutin satu-satu, ada 21 karakter orang lagi yang harus aku jelaskan. Mungkin, untuk kali ini hanya 7 manusia fenomenal yang aku ulas, nanti yang lain bakal nyusul.
 Dibawah beberapa Photo diakhir hayat Delapan Tiga. Perempuan berkerudung MERAH hati  (VIVI), yang berkerudung HIJAU (LILIS) , ABU-ABU (DWI>DUMEK),BIRU DONGKER (DEVI),ORANYE(DANIA),PUTIH (LOVITA), yang berjaket kuning hitam itu (MILA),dan LELAKI bermata sipit itu (FAJAR)









Rabu, 04 Juli 2012

Ooh, blog ku ..
udah lama banget aku gak posting ke blog ini. setelah berbulan bulan vakum dari bloging, untuk menyelesaikan segala perlombaan ku, akhir nya aku sempatkan untuk posting ke blog ini. untuk kali ini, aku posting artikel yang berbeda dari konsep blog aku. awalnya cuma iseng-iseng aja buat naskah pidato. Tapi, setelah guru agama aku bilang naskahnya bagus, yaa aku mau share juga deh buat para bloging sedunia..
Ini dia ..


      Keutamaan Ilmu Pengetahuan


       Pada suatu ketika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah menyatakan bahwa dirinya diibaratkan sebagai kota ilmu, sementara Ali bin Abi Thalib adalah gerbangnya ilmu. Mengetahui ada hadits rasul di atas, sekelompok kaum Khawarij(Kaum Khawarij adalah kelompok umat Islam yang menentang keinginan khalifah Ali bin Abi Thalib untuk berdamai dengan Bani Umayyah; sedangkan mereka yang mendukung ketetapan sayyidina Ali tersebut disebut sebagai kelompok Syi’ah.
 kurang bahkan ada sebagian yang tidak mempercayainya. Mereka tidak percaya, apa benar Ali bin Abi Thalib cukup pandai sehingga ia mendapat julukan "gerbang ilmu" dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Berkumpullah sepuluh orang dari kaum Khawarij. Kemudian mereka bermusyawarah untuk menguji kebenaran pernyataan Rasulullah tersebut. Seorang di antara mereka berkata, "Mari sekarang kita tanyakan pada Ali tentang suatu masalah saja. Bagaimana jawaban Ali tentang masalah itu. Kita bisa menilai seberapa jauh kepandaiannya. Bagaimana? Apakah kalian setuju?" "Setuju!" jawab mereka serentak. "Tetapi sebaiknya kita bertanya secara bergiliran saja", saran yang lain. "Dengan begitu kita dapat mencari kelemahan Ali. Namun bila jawaban Ali nanti selalu berbeda-beda, barulah kita percaya bahwa memang Ali adalah orang yang cerdas.""Baik juga saranmu itu. Mari kita laksanakan!" sahut yang lainnya. Hari yang telah ditentukan telah tiba.
Orang pertama datang menemui Ali lantas bertanya, "Manakah yang lebih utama, ilmu atau harta?" "Tentu saja lebih utama ilmu," jawab Ali tegas. "Ilmu adalah warisan para Nabi dan Rasul, sedangkan harta adalah warisan Qarun, Fir'aun, Namrud dan lain-lainnya," Ali menerangkan. Setelah mendengan jawaban Ali yang demikian, orang itu kemudian mohon diri. Tak lama kemudian datang orang kedua dan bertanya kepada Ali dengan pertanyaan yang sama. "Manakah yang lebih utama, ilmu atau harta?" "Lebih utama ilmu dibanding harta," jawab Ali. "Mengapa?" "Karena ilmu akan menjaga dirimu, sementara harta malah sebaliknya, engkau harus menjaganya."
Orang kedua itu pun pergi setelah mendengar jawaban Ali seperti itu. Selanjutnya orang ketiga datang menyusul dan bertanya seperti orang sebelumnya: "Bagaimana pendapat tuan bila ilmu dibandingkan dengan harta?" Ali menjawab: "Harta lebih rendah dibandingkan dengan ilmu?" "Mengapa bisa demikian tuan?" tanya orang itu penasaran. "Sebab orang yang mempunyai banyak harta akan mempunyai banyak musuh. Sedangkan orang yang kaya ilmu akan banyak orang yang menyayanginya dan hormat kepadanya."
Setelah orang itu pergi, tak lama kemudian orang keempat pun datang dan menanyakan permasalahan yang sama. Setelah mendengar pertanyaan yang sama, Ali pun kemudian menjawab, "Ya, jelas-jelas lebih utama ilmu." "Apa yang menyebabkan demikian?" tanya orang itu mendesak. "Karena bila engkau pergunakan harta," jawab Ali, "jelas-jelas harta akan semakin berkurang. Namun bila ilmu yang engkau pergunakan, maka akan semakin bertambah banyak."
    Tak lama kemudian, orang kelima dan mengajukan pertanyaan serupa. Ali pun menerangkan: "Jika pemilik harta ada yang menyebutnya pelit, sedangkan pemilik ilmu akan dihargai dan disegani."
Orang keenam lalu menjumpai Ali dengan pertanyaan yang sama pula. Namun tetap saja Ali mengemukakan alasan yang berbeda. Jawaban Ali tersebut ialah, "Harta akan selalu dijaga dari kejahatan, sedangkan ilmu tidak usah dijaga dari kejahatan, lagi pula ilmu akan menjagamu."Dengan pertanyaan yang sama, orang ketujuh datang kepada Ali. Pertanyaan itu kemudian dijawab Ali, "Pemilik ilmu akan diberi syafa'at oleh Allah Subhaanahu wa Ta'ala di hari kiamat nanti, sementara pemilik harta akan dihisab oleh Allah kelak."
Kemudian kesepuluh orang itu berkumpul lagi. Mereka yang sudah bertanya kepada Ali mengutarakan jawaban yang diberikan Ali. Mereka tak menduga alasan yang diberikan Ali sebagai jawaban selalu berbeda. Sekarang tinggal tiga orang yang belum melaksanakan tugasnya. Mereka yakin bahwa tiga orang itu akan bisa mencari celah kelemahan Ali. Sebab ketiga orang itu dianggap yang paling pandai di antara mereka.
Orang kedelapan menghadap Ali lantas bertanya, "Antara ilmu dan harta, manakah yang lebih utama wahai Ali?" "Tentunya lebih utama dan lebih penting ilmu," jawab Ali."Kenapa begitu?" tanyanya lagi."Dalam waktu yang lama," kata Ali menerangkan, "harta akan habis, sedangkan ilmu malah sebaliknya, ilmu akan abadi."
Dengan pertanyaan serupa, orang kesembilan datang "Seseorang yang banyak harta", jawab Ali pada orang ini, "akan dijunjung tinggi hanya karena hartanya. Sedangkan orang yang kaya ilmu dianggap intelektual." Tiba giliran orang terakhir, dengan pertanyaan yang sama. Ali menjawab, "Harta akan membuatmu tidak tenang dengan kata lain akan mengeraskan hatimu. Tetapi, ilmu sebaliknya, akan menyinari hatimu hingga hatimu akan menjadi terang dan tentram karenanya."
Ali pun kemudian menyadari bahwa dirinya telah diuji oleh orang-orang itu. Sehingga dia berkata, "Andai kata engkau datangkan semua orang untuk bertanya, insya Allah akan aku jawab dengan jawaban yang berbeda-beda pula, selagi aku masih hidup."
Kesepuluh orang itu akhirnya menyerah. Mereka percaya bahwa apa yang dikatakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas adalah benar adanya. Dan Ali bi Abi Thalib memang pantas mendapat julukan "gerbang ilmu". Sedang mengenai diri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sudah tidak perlu diragukan lagi.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib pernah berkata:
حَياَةُ الْفَتَى وَاللهِ بِِالْعِلْمِ وَالتُّقَى # فَإِنْ لَمْ يَكُوْناَ لاَ اعْتِبَارَ لِذَاتِهِ
“Kehidupan seorang pemuda –demi Allah– harus memiliki ilmu dan ketaqwaan # jika tanpa keduanya, maka kehidupannya tidak akan ada nilainya (tidak berharga)”

 Kaum Khawarij adalah kelompok umat Islam yang menentang keinginan khalifah Ali bin Abi Thalib untuk berdamai dengan Bani Umayyah; sedangkan mereka yang mendukung ketetapan sayyidina Ali tersebut disebut sebagai kelompok Syi’ah.
Menuntut ilmu itu wajib bagi laki-laki  dan perempuan.  

Sekiaan artikel ini, semoga bermanfaat ^^   

Rabu, 18 April 2012

Surat (tanpa) ayat


Surat (tanpa) Ayat



“Sesungguhnya, orang hidup di dunia itu ibarat mampir ngombé. Hidup ini cuma sementara. Makanya orang hidup itu tidak usah néko-néko. Hidup yang kekal itu kelak hanya ada di aherat sana—di surga yang masih Wallahu ‘Alam sana?!”
“Maksud guru di atas langit sana kan?!”

Gheni memotong pembicaraan gurunya. Sesekali menyeruput secangkir kopi panas sehingga terlihat giginya berwarna kuning dan keropos menyerupai pagar besi berkarat yang terpasang semrawut di depan rumah orang tuanya di komplek Pasar Kembang, Jogja. Entah gigi-gigi itu rusak karena sudah atau karena kuwalat melanggar perintah Tuhan ketika
-bawaan dari kecil tentunya hanya Gheni yang tahu-makan dan minum tidak mengucap Bismillah dan akan menanggung dari semua perbuatannya sendiri.
“Memang kamu tahu di atas langit sana ada apa saja?!” celetuk guru Landhung.
   
Gheni menggelengkan kepala sembari melongo menatap guru Landhung. Tatapannya kosong. Pikirannya melantur kemana-mana. Jangankan untuk menjawab pertanyaan di atas langit ada apa saja. Bahkan untuk membaca saja Gheni butuh bantuan teman-temannya untuk mengeja. Gheni tidak tahu apa itu titik (.), koma (,), tanda seru (!), dan tanda tanya (?). Gheni tida bisa membedakan antara tanda dan makna. Walau usianya sudah menginjak sebelas tahun, tapi seumur hidup dia tidak pernah mengenyam kurikulum di sekolah. Yang Gheni tahu, semua ilmu pengetahuan itu dinamakan sejarah. Sejatine winarah.
   
Tapi ada satu hal yang membuat  guru Landhung kagum dengan sosok Gheni. Bukan lantaran sifat keberaniannya ‘kalah cacak menang cacak’ yang tidak takut kepada semua orang yang dijumpainya. Kelebihan Gheni adalah bisa menguasai angka-angka dengan nyaris sempurna. Gheni bisa menghitung perkalian, penjumlahan, pembagian, dan pengurangan dengan sangat cepat. Otaknya seperti mesin kalkulator ketika melihat angka-angka.

Bahkan, ketika suatu malam sedang duduk di teras rumah bersama guru Landhung, tiba-tiba Gheni memberitahu kepada guru Landhung kalau jumlah bintang yang berada di atas halaman rumahnya sebanyak 5136.  Tapi yang 1036  bintang hanya bisa dilihat oleh Gheni sendiri. Karena 1036 bintang itu kelihatan sangat kecil sekali dan tidak bisa dilihat dengan mata orang tua seperti guru Landhung yang umurnya sudah menginjak 65 tahun.
    
Pengakuan Gheni malam itulah yang membuat guru Landhung semakin kagum dan diam-diam menyimpan keinginan untuk belajar angka-angka kepada Gheni
“Memang kamu tahu di atas langit sana ada apa saja?!” guru Landhung mengeraskan suara. Mengulangi pertanyaannya sambil memelototi wajah Gheni yang masih bengong.
***

“Ya. Aku tahu guru di atas langit sana ada apa saja?!”
   
Tujuh tahun selang, Gheni baru bisa menemukan jawaban dari pertanyaan guru Landhung ketika tanpa sengaja mencuci muka di sungai, Gheni melihat bintang-bintang yang bertebaran dari pantulan air di sungai itu. Lantas, Gheni menyimpulkan jawaban dari guru Landhung bahwa, sesungguhnya di atas langit sana ada air. Hanya ada air. Rasanya di dunia ini tidak ada benda yang lebih hebat bisa mengalahkan kedahsyatan air. Bahkan karena saking terinspirasi dengan air, malam itu juga Gheni langsung mengganti namanya menjadi Banyu. Barangkali selama ini orang tuanya salah memberi nama kepada dia. Gheni artinya api. Benda panas. Sebagai simbol dari setan. Sedangkan Banyu sendiri artinya air.  
   
Tapi yang membuat dia tidak habis pikir, kenapa guru Landhung dari dulu tidak pernah mengganti namanya? Padahal guru Landhung mengenal dia sejak kecil. Rumahnya hanya berjarak 20 meter dari rumah Banyu. Bedanya rumah guru Landhung berada di depan masjid. Sedangkan rumah Banyu berada di komplek prostitusi. Ibunya berprofesi sebagai pelacur. Sedangkan kerjaan Ayahnya tiap hari cuma berjudi. Sejak kecil sesuatu hal yang Banyu lakukan hanyalah mengambil sobekan kertas kecil berisi tulisan angka dari  bank lintah darat yang tiap malam menagih hutang kepada pelacur di komplek Pasar Kembang. Mungkin berawal dari situlah Banyu bisa leluasa menguasai angka-angka. Karena tidak pernah satu tulisanpun yang dia baca kecuali angka. Hanya angka.
“Aku tahu guru, di atas langit sana ada air?!”
   
Banyu meneteskan air mata ketika mau memberitahu jawaban itu kepada guru Landhung, tapi guru Landhung sudah keburu meninggal satu tahun yang lalu. Yang bisa Banyu lakukan hanyalah menyimpan jawaban itu di dalam hati. Banyu selalu menyimpan jawaban itu kemanapun dia pergi. Di manapun dia melangkahkan kaki.
“Di atas langit sana ada air. Di atas langit sana ada banyu. Di atas langit sana ada aku?! Ada Aku!”
****

Sejak mengganti namanya menjadi Banyu, dia tumbuh berkembang menjadi anak remaja liar dan keras yang menghabiskan waktunya hidup di jalan. Dia tidak mau tinggal di rumahnya yang tiap hari hanya digunakan orang tuanya sebagai tempat maksiat. Entah siapa sekarang yang menjadi gurunya Banyu setelah guru Landhung meninggal, Wallahu ‘Alam. Yang jelas Banyu berubah menjadi anak remaja cerdas yang haus akan ilmu. Rasanya di dunia ini tidak ada sesuatu hal lebih nikmat yang bisa Banyu lakukan kecuali hanya mencari ilmu.
   
Ketika pada suatu kesempatan Banyu membaca salah satu buku berbunyi,  Tuntutlah ilmu sampai ke negeri China, maka saat itu juga Banyu mempunyai keinginan keras langsung pergi ke China untuk mencari ilmu.  Rasanya tidak susah bagi Banyu untuk merayu turis asing yang sedang berkunjung ke Jogja agar mau mengajaknya pergi ke China. Banyu menguasai Bahasa Inggris dengan fasih dan mempunyai banyak teman bulé dari berbagai negara yang tiap hari menemani kemanapun dia pergi.
   
Alhasil, Banyu bisa menginjakkan kaki ke China dengan ilmu itu. Apapun keinginannya bisa tercapai dengan ilmu. Bahkan sampai beberapa negara di belahan Benua Eropa dan Amerika sudah pernah Banyu kunjungi sekedar untuk menemani teman-temannya meneguk vodka dan marijuana. Tidak jarang juga Banyu melihat dengan mata kepala sendiri ketika teman-temannya menelusuri goa garba dari beraneka macam wanita yang pernah dijumpainya di beberapa negara.

Tidak ada yang kurang bagi Banyu untuk bersenang-senang. Cita-citanya semula mencari ilmu sudah hilang. Hingga ahirnya Banyu sadar bahwa yang dijumpainya sekarang ini tidak jauh beda dengan tempat maksiat di kota kelahirannya di Pasar kembang, Jogja. Perang dunia kedua ketika pesta pora Adam dan Hawa tak henti-hentinya merajalela bertahta. Tiba-tiba Banyu teringat kepada kedua orang tuanya.
“Ya Tuhan, apa yang harus kuperbuat?”

Tanpa sengaja Banyu menyebut nama Tuhan. Banyu tidak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali hanya meminta tolong kepada Tuhan. Semua teman-temannya sudah pergi. Meninggalkan Banyu sendiri. Banyu terdampar di sebuah padang pasir yang sangat gersang. Di negara Pakistan. Sebuah negara islam yang hanya mengenal nama Bilal, Hasyim, Adam, Ibrahim atau Muhammad, dan tidak mengenal nama Banyu maupun Gheni. Banyu tersadar bahwa selama ini ilmu sudah menjerumuskan dirinya dengan nafsu. Seseorang akan tersesat mempelajari ilmu tanpa Guru.

Banyu terus menangis. Menyesali semua kebodohannya. Kakinya sudah terlalu lelah untuk melangkah. Batinnya terlalu sakit untuk menjerit. Nafasnya terlalu sesak untuk berteriak. Perlahan-lahan, tubuh Banyu terhempas di atas pasir. Kepalanya menengadah. Pasrah. Kedua matanya hanya bisa kedap-kedip memandang kemerlip bintang di langit. Banyu teringat pertanyaan guru Landhung yang pernah dilontarkan kepadanya ketika dia belum bisa apa-apa. Ketika Banyu tidak tahu sama sekali tanda baca dan makna kecuali hanya mengenal angka-angka.
“Memang kamu tahu di atas langit sana ada apa saja?!”
****

Banyu terkulai lemas tak sadarkan diri. Seperti mati suri. Tidak ada yang bisa dia lakukan kecuali hanya mengedipkan mata. Memahami rahasia.
“Excuse me, are you ok?” Tiba-tiba terdengar suara perempuan dengan sangat merdu mendesing di telinga Banyu.
“Excuse me, are you ok? May i help you?”

Banyu membuka mata perlahan-lahan. Dengan pandangan agak sedikit kabur, dia melihat di depannya ada perempuan cantik dengan tubuh jenjang, hidung mancung, kulit bersih, dengan wajah sangat teduh dan sejuk. Perempuan itu mengenakan jilbab dengan motif warna pelangi. Banyu pernah lihat di buku kalau jilbab seperti yang dikenakan perempuan itu berasal dari Maroko. Konon jilbab itu hanya dikenakan oleh perempuan yang sudah mengalami ruang tasawuf yang sangat dalam.
“Excuse me, where do you come from?” Perempuan itu mengulangi pertanyaannya sambil menatap wajah Banyu yang lemas dan pucat.
“Indonesia,” jawab Banyu dengan suara terbata-bata.
“Indonesia?” Perempuan itu setengah tidak percaya mendengar jawaban Banyu. “Indonesia adalah negara yang sangat indah. Aku jatuh cinta dengan Indonesia.”
“Can u speak indonesia?” sahut Banyu dengan semangat.
“Ya, aku sudah tiga tahun tinggal di Indonesia. Tepatnya di Aceh. Aku pernah main ke Jakarta, Surabaya, Malang, dan Jogja.”
“Aku dari Jogja. Rumahku tidak jauh dengan Malioboro. Tepatnya di komplek pelacuran Pasar Kembang.”
“Oh ya, Subhanallah,” jawab Yasmeen dengan bahagia. “Aku tidak menyangka kalau akan ketemu orang Jogja di Pakistan sini. Ternyata Allah mengabulkan doaku.”
“Doa?!”  
***
   
Ya, doa. Selama ini Banyu lupa kalau dirinya hampir tidak pernah berdoa. Selama ini yang dia pikirkan hanya tanda baca, ilmu, dan makna. Perkenalannya dengan perempuan itu, membuat Banyu seolah-olah melupakan semua keinginannya untuk mencari ilmu. Dalam benak Banyu hanya ingin mengetahui dan bertemu dengan Tuhan.
Dengan Tuhan….
“Nama kamu bagus. Yasmeen Ahmed.” Banyu mencoba membuka pembicaraan ketika mereka berdua berada di sebuah serambi Masjid, di rumah Yasmeen.
“Ayahku yang memberi aku nama itu. Artinya melati dari Rosulullah.”
“Kalau namaku dulu Gheni, artinya api. Sekarang aku ganti dengan Banyu, artinya air. Ketika namaku dulu masih Gheni, aku orang yang bodoh. Tidak tahu apa-apa kecuali hanya angka. Kemudian ketika aku mengganti nama dengan Banyu, tiba-tiba aku bisa belajar ilmu dengan sangat cepat. Aku punya banyak guru. Tapi ternyata ahirnya aku juga punya banyak nafsu. Aku lupa menghitung angka hingga tanpa aku sadari umurku sudah menginjak 27 tahun. Waktu melaju begitu cepat. Sangat cepat. Sampai-sampai aku tidak tahu apa yang sudah aku perbuat. Aku sekarang tidak punya apa-apa. Kecuali hanya dosa.”
“Jangan menyesali diri sendiri Banyu. Tidak baik. Umurku sekarang sudah 30 tahun, tapi aku belum menikah. Seburuk-buruknya anak muda adalah anak muda yang belum menikah.” Yasmeen tersenyum kecil. Sambil mengerlingkan lesung pipinya yang sangat sejuk.
“Kenapa belum menikah? Jika boleh jujur, sosok kamu sesuai dengan nama kamu. Yasmeen Ahmed. Melati dari Rosulullah.”
“Tidak sedikit orang yang bilang begitu kepadaku, Banyu. Tapi entahlah, kadang aku bingung dengan misteri.”

Yasmeen menghela nafas panjang. Sesekali menatap wajah Banyu yang pandangannya menerawang kosong melihat langit. Sambung Yasmeen, “Dulu aku pernah solat istiqarah dan mohon diberi petunjuk kepada Tuhan siapakah jodohku. Kemudian dalam mimpi itu aku berada di suatu tempat. Tapi dalam keyakinanku tempat itu Indonesia. Di Jogja. Aku bertemu dengan orang sufi. Mungkin orang itu adalah jodohku.”

Banyu langsung terperangah mendengar perkataan Yasmeen kalau jodohnya orang dari Jogja. Tapi sangatlah tidak mungkin kalau jodoh Yasmeen adalah dia. Banyu tidak tahu apapun soal agama. Dia tidak bisa membaca Al-Qur’an. Bahkan satu surat sekalipun dia tidak bisa. Apalagi menjadi seorang sufi.

Mata Banyu masih kosong menerawang langit. Apakah benar di atas langit sana ada air? Atau ada api? Atau jangan-jangan ada aku? Banyu terus berfikir menemukan jawaban dari pertanyaan guru Landhung di atas langit sana ada apa saja. Sesaat kemudian, Banyu menundukkan kepala sembari menatap wajah Yasmeen.
“Maukah kamu menikah denganku, Yasmeen? Jujur sekarang aku tidak punya apa-apa. Bahkan sepeser uang sekalipun. Tapi jika kamu tahu, aku lebih kaya dari Ayahmu yang mempunyai pesantren, rumah, mobil, dan setumpuk harta lainnya.”
“Oh ya,” Yasmeen menatap wajah Banyu dengan penasaran. “Alasanmu kenapa?”   
“Pernah suatu malam duduk sendiri, aku bertanya kepada Tuhan. Tuhan, berapakah harga langit-langit, bintang, dan bulan? Aku ingin membelinya.”
“Terus Tuhan bilang apa?”
“Tuhan hanya diam. Tidak menjawab apa-apa. Bahkan sampai sekarang juga tidak ada orang satupun yang memberitahuku berapa harga langit-langit, bintang, dan bulan itu. Lantas aku berfikir, mungkin sekarang ini aku adalah orang paling kaya sedunia. Ketika orang lain hanya bisa mempunyai mobil, rumah, perusahaan, dan setumpuk harta lainnya, tapi aku pernah berniat untuk membeli langit-langit, bintang, dan bulan. Seandainya saja sekarang ini Tuhan memberitahu aku berapa harga langit-langit, bintang, dan bulan itu, maka aku akan membelinya dan aku berikan kepadamu sebagai mahar pernikahanku.”
“Dengan apa kamu akan membelinya? Dengan uang?”
“Bukan. Bukan dengan uang.”
“Dengan ilmu?
“Juga bukan.”
“Terus?!”
“Jujur sekarang aku tidak punya uang dan ilmu. Aku juga tidak bisa baca Al-Qur’an sama sekali. Bahkan satu surat sekalipun. Apalagi menjadi seorang sufi. Tapi aku pernah mendengar perkataan Cak Nun. Tanpa aku sadari beliau adalah salah satu guruku. Beliau pernah bilang bahwa ilmu pengetahuan seluas samudera sekalipun, harta sebanyak apapun di muka bumi ini, sesungguhnya semua ilmu dan harta itu tidak akan ada apa-apanya kalau sudah dihadapkan pada….”
“Apa itu, Banyu?!”
“Iqra’….”
“Jadi satu ayat itu yang akan kamu pakai sebagai mahar pernikahan untuk melamarku?!”
“Ya, Iqra’ Yasmeen Ahmed.”
“Iqra’….”


*) iqra’ = bacalah! (ayat pertama kali yang turun dalam Al-Qur’an)


Jumat, 02 Maret 2012

Cerpen Rumah yang Dikuburkan


Rumah yang Dikuburkan

Kalau pada suatu hari ia jumpai ayahnya sudah dalam keadaan gantung diri, maka ia akan langsung bersyukur. Kalau pada suatu hari ia pergoki ibunya sedang bermesraan dengan entah siapa di gudang belakang rumah, tentu ia juga akan bersyukur. Sudah sewajarnya jika ayahnya harus mengambil keputusan gantung diri. Rasanya, hanya jalan itulah yang paling memungkinkan, mengingat istrinya sendiri semakin nekat mengumbar keinginan. Dulu, ia sempat menduga, kejadian di gudang belakang rumah tak akan terulang, dan sebagai laki-laki, ayahnya akan dengan mudah melupakan. Rupa-rupanya kejadian di gudang belakang rumah itu terus terulang, bahkan seperti meminta dengan sengaja bahwa ayahnya bisa melihat dengan mata kepala sendiri.
“Bagaimana, ayah?” ia pernah bertanya.
“Tak apa-apa. Sebaiknya begitulah.”
“Sudah seharusnya?”
“Ya. Tak perlu dicari sebab dan alasannya. Yang pasti sudah terjadi. Entah dengan lelaki siapa pun, aku tak peduli.”
“Ayah tak cemburu? Sebagai laki-laki ayah tak menuntut, tak merasa kalah?”
“Pertanyaanmu bagus. Tetapi, memang, sudah sebaiknya.”
Ia tercekat, mengulum ludah. Memandang hamparan ladang tembakau, selintas masih dilihatnya para pemetik tembakau mengenakan mantel anti-air hujan. Ayahnya meluruskan kaki di meja beranda.
Ia memutuskan diri untuk berkuda, meninggalkan ayahnya.
Begitu hampir setiap hari, waktu berjalan dingin. Di daerah S, ayahnya dikenal sebagai juragan, orang kaya yang memiliki ladang tembakau cukup luas. Hampir semua pekerja yang merawat ladang tembakau itu adalah warga daerah S sendiri, yang merasa cocok bekerja untuk ayahnya. Orang-orang yang bekerja pada ayahnya hanya ingin mengabdi, ayahnya sendiri tipe orang yang bisa menghargai siapa pun. Itulah yang membuat warga daerah S selalu tunduk, bahkan ada yang tak segan berjalan munduk-munduk, berjalan sangat sopan dan hati-hati jika di depan ayahnya.
Pada setiap sore, ayahnya akan selalu menghibur diri, menginginkan kegundahannya bisa bebas dengan berkuda. Sengaja ayahnya berkuda sendirian, mengelilingi keluasan ladang tembakau. Sengaja ayahnya menghirup udara sesegar dan sebanyak mungkin, tak mau merasa tertekan. Kalau pada suatu sore sang ayah berpapasan dengan sang anak yang kebetulan juga sedang berkuda, maka sang anak akan menyambutnya dengan biasa-biasa saja.
Ternyata, benarlah, antara ayah dan anak tak perlu menganggap ada yang istimewa, ayah dan anak cukup hanya bertegur sapa ringan, tak perlu menampakkan kasih sayang berlebihan. Bahkan, kalau tegur sapa itu sudah dilakukan berkali-kali, terhitung berkali-kali dalam satu minggu, misalnya, bukankah yang kemudian muncul justru rasa bosan? Karenanya, ia memutuskan, jika bertegur sapa cukup jika dinilai penting, dan terlebih lagi kalau memang mau, jika berkehendak. Jika tak berkehendak, apalah yang bisa dipaksakan?
Berkuda dan mengelilingi ladang tembakau yang luas. Dua hal itulah yang memberikan jaminan kebebasan. Siapa pun yang menempuhnya pasti merasa lapang dada. Kawasan tanah dataran tinggi mampu memberikan kenyamanan, terutama bagi orang yang memilih hidup untuk frustrasi, seperti ayahnya.
Kadang-kadang, ia sengaja memandang ayahnya dari kejauhan, melihat kemungkinan bahwa ayahnya akan mengisi waktu luang sebagai alasan frustrasi. Hal wajar yang selayaknya diterima laki-laki, tak perlu memberontak, lebih baik dibikin abadi. Kadang-kadang, dari kejauhan itulah ia melihat ayahnya berkuda dengan tatapan mata kosong, seperti seorang pangeran yang tak lagi punya wibawa. Kuda yang ditungganginya lumayan gagah, namun kekosongan matanya bisa sebagai bukti bahwa sang ayah adalah laki-laki yang harus rela menghancurkan kelelakiannya. Entah sudah berapa kali putaran dalam sekali jalan ia melihat ayahnya mengelilingi ladang tembakau, entah berapa waktu lagi yang dibutuhkan ayahnya untuk sekadar menghibur diri.
Hari berpilin, berubah, berganti. Pagi, siang, sore, malam, seperti piranha beku yang tak sanggup menjelaskan makna. Waktu menjadi bernilai kosong.
Ayahnya masih berkuda.
Rumah seperti terkuburkan, serta-merta. Kalau ada yang sedikit istimewa dalam ruang tamu hanyalah sebiji foto keluarga yang bertengger di dinding. Ia, ayah, dan ibunya, tersenyum. Tak masam. Kejenakaan yang tersisa, kebahagiaan yang memancar dari senyuman. Sampai kapan pun, ketiga orang dalam foto itu akan terus tersenyum. Siapa pun yang memandangnya akan ikut merasakan bahagia. Foto yang akan bergoyang ringan ketika ditiup angin dari arah ladang tembakau, melewati beranda, melewati jendela, ngungun di ketiga wajah yang tersenyum. Ia sendiri hanya mengenakan celana pendek, buntek, sementara ayah dan ibunya mengenakan busana Jawa, sempurna dengan belangkon.
Ia kerap membayangkan, ibunya akan bergumul dengan entah siapa, tepat di depan mata kepalanya sendiri. Atau, ia akan melihat bersama-sama dengan ayahnya? Pasti, dengan perasaan ikhlas. Wajarlah. Sampai suatu kesempatan, dalam rutinitas hari-hari yang memuncak beku, ia jumpai ayahnya yang gantung diri, tepat di tengah ruang tamu, menghadap foto keluarga yang tersenyum. Tak mesti menjulurkan lidah, tak mesti membelalakkan mata, ayahnya mati. Ia memastikan ibunya akan biasa-biasa saja melihatnya, justru dengan ringan akan menurunkan mayat suaminya dari tali gantungan, pun menguburkannya sendiri.
Ia tahu, ketika ia melihat ayahnya dalam keadaan gantung diri, ibunya masih bergumul dengan entah siapa di gudang belakang rumah, dekat kandang kuda. Kerap ia tergoda, sekali waktu ingin membakar tumpukan jerami yang ada di pinggir-pinggir dinding papan kayu, di luar gudang. Biarlah ibunya mati saat tengah bergumul. Namun, hal itu urung ia lakukan. Ia menggagalkannya sendiri. Ia memang akan terus merasakan suasana rumah semakin membusuk, tanpa ada alasan dan jawaban atas pertanyaan.
Ia justru sangat bersyukur ayahnya memilih gantung diri dengan semangat yang penuh tawa. Ia kasihan melihat ayahnya menghibur diri hanya dengan berkuda, mengelilingi ladang tembakau, setiap sore.

Cerpen Bunga Jepun



ulan sesudah bom meledak di Legian, Luh Manik belum memutuskan apa-apa. Saban petang ia masih suka menyusuri jalan setapak, melintasi beberapa petak sawah dan kebun pisang, untuk kemudian tiba di bangunan berbentuk los, di mana dulu ia biasa berlatih menari. Dulu, di sekitar petak sawah terakhir, di dekat sebuah pura kecil, Luh Manik senantiasa memetik bunga jepun. Ia tak perlu naik karena di batang pohon jepun entah oleh siapa, telah tersedia sebatang bambu lengkap dengan kait untuk menggaet bunga. Lalu, bunga-bunga jepun berwarna putih itu, setelah digaet memutar seperti baling-baling helikopter sebelum menyentuh tanah.
Luh Manik membayangkan dirinya tengah berada di dalam sebuah pesawat yang melaju ke luar negeri. “Aku mestinya sudah menari di luar negeri,” selalu ia mengakhiri khayalannya dengan kata-kata itu. Bergegas kemudian dipungutnya bunga-bunga yang berjatuhan menerpa belukar liar.
Waktu itu, Luh Manik sungguh menikmati hari-hari yang riang. Petang hari, setelah memetik bunga-bunga, biasanya bersama rombongan yang telah menunggunya di los dari bambu, ia berangkat menuju Nusa Dua. Ia selalu diberikan tempat di samping sopir dengan seorang penari lainnya. Sementara para penabuh berjejalan di bak truk bercampur dengan perangkat gamelan. Dalam cuaca hujan, mereka tak pernah takut. Cukup dengan menarik terpal untuk kemudian memfungsikannya seperti atap rumah, dan mereka akan terlindung dari guyuran air hujan sederas apa pun. Perjalanan dari Desa Poh menuju Nusa Dua biasa ditempuh dalam dua setengah jam. Sepanjang jalan, tak henti para penabuh menembangkan lagu-lagu pop Bali yang sedang digemari. Sembari memukul kendang, mereka menyanyikan lagu-lagu karangan Widi Widiana, penyanyi pop Bali yang lagi populer itu.
Meski hanya diberi honor antara Rp 7.000 sampai Rp 10.000, Luh Manik bersama kelompok joged bungbung Teruna Mekar menjalani petang dengan riang selama hampir tiga tahun terakhir. Setidaknya kehidupan rata-rata warga Desa Poh yang hanya menggantungkan harapan pada kebun pisang dan sawah tadah hujan, agak tertolong dengan kontrak menari di beberapa hotel di kawasan wisata Nusa Dua. Selalu sebagian warga mendahului duduk-duduk di los sembari menunggu jemputan. Duduk-duduk di los seperti menunggu rezeki mengalir ke Desa Poh. Kedatangan truk pun lama kelamaan seperti kedatangan dewa penyelamat yang mengangkat mereka dari keterpurukan ekonomi.
Petang ini jalanan licin. Di bulan November, desa-desa di Bali sedang memasuki musim gerimis. Ini pertanda tak lama lagi musim hujan akan tiba. Semak belukar yang meranggas selama kemarau belum tumbuh sepenuhnya. Tanah yang kehitaman berkilau-kilau diterangi kilat dari langit di barat desa. Di dekat pohon jepun, Luh Manik berhenti sejenak, menelusuri batang, dahan, serta ranting yang bulat bergerigi sampai ke pucuk. Bunga jepun yang putih seperti malas mekar. Batang bambu yang dulu selalu digunakan untuk mengait kuntum-kuntum bunga sudah tidak ada lagi.
“Ah…,” gadis belasan tahun ini melenguh. Ia tak dapat menyembunyikan kegelisahannya. Saban petang, setelah bom meledak di Legian, Luh Manik nekad memanjat batang pohon jepun untuk menemukan kuntum bunga. Batang pohon yang lembut itu seperti merasakan gesekan kulit Luh Manik yang halus. Mereka seperti dua kekasih yang lama terpisah. Dan hari ini, di petang yang dingin keduanya saling memeluk untuk melepas rindu. Daun-daun jepun yang bergoyang karena terpaan angin mengusap-usap rambut Luh Manik. Keduanya saling berbisik mengenangkan hari-hari menyenangkan.
“Aku masih ingat waktu kau petik berpuluh-puluh bungaku,” ujar pohon.
“Aku juga masih ingat saat kau menjatuhkan bunga, melayang seperti baling-baling pesawat…” jawab Luh Manik.
“Lalu…. lalu kau selalu merasa sedang menari di sebuah negeri yang jauh dari desa ini dengan merangkai bungaku di rambutmu.”
“Aku selalu mengidamkan menari di luar negeri, seperti para penari dari kota.”
“Bukankah menari di hotel juga untuk para bule itu?”
“Tetapi… aku ingin menikmati kepakkan baling-baling yang menebarkan wangi, hingga mengantarkan aku ke negeri bersalju.”
“Bukankah dari mulut para bule yang menciummu seusai menari senantiasa meluncurkan aroma harum anggur? Lalu, kau suntingkan bungaku di telinga mereka?”
“Sekarang tidak lagi. Kita hanya bunga belukar yang selalu mengidam-idamkan pergi ke luar negeri bersama-sama.”
Luh Manik memetik sekuntum bunga untuk kemudian diikatkan pada rambutnya yang panjang. Sambil berlari-lari kecil di atas pematang, ia memasuki setapak di bawah rimbunan kebun pisang.
Di dalam los selalu sudah ada beberapa lelaki yang dengan lesu memukul bilah-bilah bambu gamelan. Suaranya terdengar terseok-seok dari celah-celah batang pisang, di mana Luh Manik sedang berjalan. Dari jarak dua puluh lima meter, lapangan di depan los yang biasa digunakan Luh Manik berlatih menari, sudah ditumbuhi rerumputan. Batang bambu yang digunakan menggantung petromak di tengah-tengah lapangan, juga sudah tampak miring. Bahkan, kalau saja tidak ada batu yang mengganjalnya, mungkin batang bambu itu sudah lama roboh.
Luh Manik menerawang ke ambang petang. Langit di barat masih berkabut. Gerimis baru saja berhenti. Asap bergulung-gulung meluncur dari atap daun kelapa rumah beberapa warga. Petang begini mereka baru memutuskan untuk merebus pisang muda. Sejak kontrak menari di hotel-hotel diputus, sebagian besar warga seperti kehilangan pegangan. Mereka terlanjur menggantungkan diri pada kegiatan Teruna Mekar.
“Kudengar kamu akan kerja di Jakarta, Luh?” tanya lelaki setengah baya yang biasa menjadi pemukul kendang di Teruna Mekar. Luh Manik yang disambut dengan pertanyaan sewaktu memasuki los tercekat. Ia berpikir, begitu cepatnya kabar menyebar. Padahal, rencana itu baru ia kemukakan kepada Kadek Sukasti, temannya sesama penari.
“Kami sangat mengerti kemauanmu itu,” kata lelaki yang lain lagi.
“Hidup di sini sudah hampir tak ada harapan. Kami juga sedang memikirkan untuk menjual saja gamelan ini,” ujar lelaki pemukul bilah-bilah bambu dengan nada putus asa.
“Tetapi keputusanmu itu, menurutku sangat egois. Kemarin, baru kudengar kamu ingin terus tinggal di desa apa pun yang terjadi. Kedua orang tuamu sudah tidak ada, Luh. Mengapa mesti nekat hidup di kota keras seperti Jakarta?” berkata lelaki muda dengan sangat emosional.
“Kemarin, sewaktu aku melewati pohon jepun di pinggiran sawah, aku memutuskan untuk pergi saja,” jawab Luh Manik tegas. Meski baru berumur belasan tahun, tetapi Luh Manik jauh tampak lebih dewasa dalam berbicara. Mungkin karena ia terbiasa hidup mandiri. Ia tak pernah merasa rikuh ngomong bersama sekumpulan lelaki yang jauh lebih tua dari dirinya.
“Aku dengar pula kamu mulai bicara-bicara sambil memeluk pohon jepun di pinggiran sawah itu. Sebaiknya, Luh, kamu di sini saja tenangkan diri dahulu, sembari memikirkan langkah nanti…” kali ini berkata seorang kakek yang dianggap sebagai tetua kelompok Teruna Mekar.
Luh Manik terdiam. Ia merasa sedang diadili. Lelaki, pikirnya, seringkali terlalu egois dengan mengatasnamakan kelompok. Padahal, sesungguhnya mereka sendiri takut kehilangan pegangan, takut kehilangan perempuan seperti dirinya yang selama ini menjadi primadona Teruna Mekar. Mereka juga takut kehilangan sandaran hidup, hingga semuanya mesti dihadapi bersama-sama.
Baginya pohon jepun itulah sampai kini yang paling mengerti akan kesusahan warga Desa Poh. Selama bertahun-tahun, pohon jepun telah merelakan bunganya untuk dipetik, dirangkai, dan menjadi penarik para wisatawan. Bentuknya yang berbilah-bilah bisa menjadi aksen yang menarik jika disematkan pada rambut atau disuntingkan di telinga. Sebagai penari joged bungbung Luh Manik sadar benar, ia tidak akan bisa menari dengan baik tanpa bunga jepun.
“Luh, semua kita sekarang sedang stress. Tapi, kami minta tenang dulu, jangan pergi dalam keadaan pikiran masih kacau ya…” tambah lelaki tua tadi.
“Terima kasih, Kek,” Luh Manik selalu memanggil lelaki tua itu dengan sebutan “kakek”. “Aku hanya sedang mencoba mencari kemungkinan baru dari hidup ini. Hidup mesti terus berjalan, kendati kita hampir-hampir kehilangan sandaran untuk berdiri.”
“Jadi, kamu tetap ingin pergi ke Jakarta, tanpa memikirkan nasib kami?” kata lelaki emosional lagi.
“Nasib kita tergantung di tangan masing-masing, dan bukan pada bilah-bilah bambu gamelan itu. Ia hanya benda dan alat untuk memperbaiki nasib…” kata Luh Manik. Kata-kata ini meluncur begitu saja dari bibir perempuan berambut sepinggang ini tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Bahkan, di ujung perkataannya, Luh Manik seringkali kaget, mengapa ia berkata-kata sebegitu lancar dan bijak, bahkan jauh melebihi lelaki tua itu.
Percakapan itu akhirnya berakhir karena gerimis telah mengalirkan gelap sampai ke dalam los. Luh Manik bergegas kembali ke rumahnya. Malam terlelap dalam gemerisik suara jangkrik yang sesekali ditingkahi lolong anjing di kejauhan. Suaranya sayup-sayup menyusup di sela pepohonan. Desa Poh yang ringkih seperti lelaki tua yang terseok berjalan dalam hitam malam.
Pagi-pagi sekali Kakek mendatangi rumah Luh Manik. Dari celah pohon jambu tampak pula Kadek Sukasti bersungut-sungut di belakangnya. Sekelompok ayam yang sedang mengais makanan di halaman meloncat berhamburan. Tetapi, setelah Kakek dan Kadek Sukasti lewat, ayam-ayam itu kembali berkumpul saling berebut makanan dari singkong kering yang ditaburkan Luh Manik.
Setelah melewati deretan semak di jalan setapak sebelah barat rumah Luh Manik, makin jelas terlihat wajah keduanya sangat tegang. Bahkan, kepala Kakek tampak terguncangguncang karena ia memaksakan diri untuk berlari-lari kecil. Buntalan kainnya tak keruan, hampir-hampir saja melorot dari pinggangnya yang ceking.
Dengan bibir bergetar, Kakek berkata, “Luh… kali ini harapan kita satu-satunya habis sudah. Mereka sudah memutuskan untuk menjual gamelan. Warga menolak untuk memberitahu kamu. Dan tadi malam, seorang lelaki dari kota telah mengangkutnya. Semua, sampai alat pemukulnya. Katanya untuk koleksi….begitu.”
“….Kalau memang itu satu-satunya jalan meneruskan hidup, mengapa tidak?” jawab Luh Manik enteng. Pembicaraan mereka berlangsung di halaman, tepat ketika matahari berkilauan menembusi pucuk pohon kelapa tua di timur rumah.
“Luh…!” Kakek mengucapkan nama Luh Manik dengan mata membelalak penuh ketidakpercayaan. “Bukankah dulu kamu dan ayahmu yang bersikeras membangun kembali kelompok joged ini? Dan, kamu bersedia menjadi joged pada saat kita sulit menemukan penari. Bahkan, kamu rela berhenti dari sekolah untuk serius menekuni tari. Mengapa sekarang kamu seperti menyerah saja ketika kita menghadapi kesulitan…”
“Kek, apalah yang bisa saya perbuat lagi, kalau itu sudah menjadi keputusan mereka. Dan menurutku, desa ini tak memberi pilihan lain agar kita tetap hidup.”
“Bukan itu persoalannya. Kakek sendiri tidak tahu pasti entah siapa dulu yang menciptakan perangkat gamelan joged itu. Kakek pun hanya tahu bahwa gamelan itu sudah tersimpan di los, hingga kita tak berhak menjualnya, Luh…”
Meski kaget, Luh Manik berusaha bersikap wajar. Ia ingin berpikir realistis… “Mungkin maksud Kakek gamelan ini warisan dari leluhur?”
“Mungkin begitu.”
“Kek, cobalah beri mereka pilihan untuk melanjutkan hidup. Bukan warisan itu yang penting benar sekarang, kan? Kita semua terlanjur tergantung pada kontrak itu, hingga lupa mengurus ladang.”
“Berarti, kamu telah memangkas pohon kehidupan di desa ini sampai ke akarnya. Justru gamelan itulah gantungan hidup kita, siapa tahu situasi di Nusa Dua cepat pulih…. dan kontrak-kontrak dilanjutkan lagi.”
“Itu perkara nanti, Kek. Keadaan sekarang terus mendesak. Mereka perlu makan hari ini!”
Dengan wajah kesal, kecewa, dan marah, tanpa mengucap kata sepatah pun Kakek menggamit ujung kainnya dan berlalu dari hadapan Luh Manik. Sebelum lenyap di balik rerimbunan pohon, masih terdengar ia menggerutu. “Dasar anak kecil…! Entengkan soal berat.”
Sementara Kadek Sukasti, memilih tetap tinggal dan duduk di beranda menemani Luh Manik. Ia juga sedang berpikir turut serta mencari kerja ke Jakarta. Kebetulan, menurut ayahnya, seorang saudara jauh yang dulu tinggal di Denpasar, sudah dua tahun ini pindah tugas di Jakarta. Bisa saja ia tinggal di sana, sementara menunggu pekerjaan.
Luh Manik menerawang seakan tak percaya pada apa yang barusan ia ungkapkan. Ketika Kadek Sukasti menyentuh tangannya, mata Luh Manik berkaca-kaca. Sekarang, ia malah berbalik tak yakin kalau menjual gamelan menjadi satu-satunya jalan keluar dari kesulitan hidup di sini. Benar kata Kakek, bahwa ia telah memotong pohon sampai ke akarnya, hingga tak ada lagi yang bisa dijadikan sandaran warga desa.
Selama bertahun-tahun, warga telah meninggalkan kebiasaan mengolah tanah. Mereka percaya benar joged lebih banyak mendatangkan hasil. Selain uangnya bisa dinikmati langsung, setidaknya suara gamelan dan lenggak-lenggok Luh Manik dan Kadek Sukasti di saat menari, menjadi pelipur kemelaratan. Tingkah polah para bule yang turut menari bersama Luh Manik selalu membuat mereka terbahak. Bahkan, seringkali perawakan rata-rata lelaki bule yang tinggi besar diolok-olok sebagai Rahwana yang sedang mengintai Dewi Sinta. Tertawa berderai kemudian terdengar dari bak truk ketika mereka kembali ke desa.
Setelah sebentar masuk ke kamarnya, Luh Manik menggamit tangan Kadek Sukasti, “Ayo kita jalan-jalan…” ajaknya. Kadek Sukasti tak menolak. Ia mengikuti langkah Luh Manik menyusuri setapak sebelum akhirnya lenyap di balik rimbun bambu.
Tubuh dua perempuan muda itu tampak kecil dan ringkih dipandang dari perbukitan di selatan persawahan. Mereka sesekali saling pegang untuk menghindari jalan menurun yang licin. Rambut Luh Manik yang panjang, ia lilitkan begitu saja di lehernya.
Di petak sawah terakhir, keduanya duduk sembari menyandarkan tubuhnya pada batang pohon jepun. Sekuntum bunga jepun yang lepas dari ranting berputar-putar seperti baling-baling helikopter sebelum akhirnya menyentuh pangkuan Luh Manik.
“Apa rencanamu Luh?” tanya Kadek Sukasti memecah kebisuan. Luh Manik tak segera menyahut. Ia masih memperhatikan bilah-bilah bunga jepun yang layu di pangkuannya.
“Kamu jadi ke Jakarta, Luh?”
“Seperti yang sudah aku katakan, aku akan ikut saudaranya Nyonya Lin yang punya toko di Negara. Saudaranya itu juga punya toko onderdil sepeda motor di Jakarta. Mungkin aku akan kerja di sana…”
“Jadi pembantu?”
“Jadi pelayan toko.”
Tangan Luh Manik meremas bunga jepun, yang tadi melayang, berputar-putar, bagai pesawat yang dulu sering membawa ia bermimpi tentang negeri-negeri bersalju. Ia bermimpi menari di depan ratusan orang asing dengan pakaian gemerlap, lalu mendapatkan tepuk tangan dan ciuman beraroma harum anggur…